Salam Ganesha, bagi pemimpi – pemimpinya !
Dunia berkembang sangat pesat, teknologi – teknologi baru terus saja bermunculan menambah kesan kedigdayaan peradaban manusia. Hal yang membuat hiruk pikuk suasana ibukota tepat saat matahari mulai bersembunyi menyembunyikan sinarnya masih terasa. Orang – orang berlalu lalang, ada yang kembali ke rumah masing – masing, sibuk dengan perjanjian – perjanjian bisnisnya, hingga ada yang sekedar jalan – jalan menghabiskan sedikit sisa bensinnya. Apapun itu, semua sibuk dengan kesibukan dan agendanya masing – masing. 500 kilometer nan jauh dari kehidupan ibukota yang menampakkan kegagahannya itu, seorang remaja tanggung berdiam diri sendiri di sebuah lorong gelap di salah satu sudut sekolahnya. Matanya terus fokus menatap sebuah layar berukuran hampir sebesar buku pelajaran sekolah. Jari jarinya terus bergoyang dan menari menuliskan huruf, merangkai menjadi sebuah kata, mengerjakan tugas yang tak kunjung rampung, tiada akhirnya. Di sebelahnya, sebuah tas ransel berwarna hitam berisi tumpukan tumpukan buku, yang beberapa diantaranya berisi tumpukan tugas yang menunggu antrian untuk dikerjakan sebelum tenggat waktu yang ditentukan, atau omelan bapak ibu guru siap siap menyengat telinganya keesokan harinya.
Remaja tanggung itulah aku, aku yang sibuk dengan segala impian yang telah kugantung di kepalaku. Impian yang tak akan tercapai tanpa perjuangan keras tentulah. Perkenalkan, namaku Muhammad Hanif Adzkiya. Nama yang sederhana, namun untuk urusan nama panggilan, tak sesederhana itu. Teman – temanku biasa memanggilku Adzky, tetapi aku lebih suka dipanggil Hanif. Bahkan, aku pernah sedikit marah, pasalnya teman temanku sering mengetik “ASS” – Kalian tau sendiri kan artinya - ketika mengobrol di dunia maya. Yah.. Apapun pangilannya sebenarnya aku beruntung, nama pemberian orang tuaku itu benar benar mempunyai makna yang besar. Hanif, Lurus. Adzkiya, Cerdas. Mungkin orang tuaku ingin, aku tak hanya cerdas dalam hal duniawi, namun juga cerdas untuk urusan agama. Aku dilahirkan dan dibesarkan di sebuah kota kecil. Sebuah kota di pesisir selatan Jawa Tengah. Kota yang terkenal dengan keindahan alamnya, kota ini dikelilingi pegunungan tinggi. Purwokerto, namanya. Aku dibesarkan di lingkungan keluarga yang sederhana. Keluarga yang menganggap waktu berkumpul bersama di malam hari sambil menonton TV ditemani camilan menjadi sebuah hiburan yang mengasyikkan. Di keluargaku tak ada hiburan paling nikmat selain membaca buku di rumah atau pergi ke perpustakaan daerah untuk menikmati lezatnya hidangan bernama buku.
Tiga tahun lalu, remaja tanggung yang waktu itu masih berseragam biru tua, menuliskan sebuah mimpinya, mimpi yang akan menemani perjalanan hidupnya sepanjang berseragam putih abu – abu nanti. Mimpi untuk diterima di sebuah Perguruan Tinggi Negeri terbaik di kota Bandung, Institut Teknologi Bandung.
Alhamdulillah, Kedua orang tuaku benar benar mendukung impianku tersebut. Masih teringat bagaimana wajah lelahnya terlihat dari keringat yang bercampur dengan tetesan air hujan, menungguku di balik gerbang sekolah. Menungguku menyelesaikan bimbel sore, salah satu ikhtiar yang harus aku lalui dengan semangat agar dapat di terima di SMA terbaik nantinya.
Sebelum orang tuaku mengirimku untuk menimba ilmu di SMA Negeri 2 Purwokerto, sekolah - yang kata orang - terbaik yang ada di kota kecilku itu, aku mencoba mendaftar ke sebuah Sekolah favorit di Indonesia, MAN Insan Cendikia. Aku ikuti serangkaian proses seleksi. Mulai seleksi administrasi hingga seleksi tes tertulis. Namun, Tuhan masih belum mengizinkanku bersekolah di sekolah tersebut. Masih terbayang bagaimana kesedihanku waktu itu ketika membuka pengumuman kelulusan. “Maaf Anda belum berhasil, Semoga Kesuksesan menanti Anda di lain waktu” Sebuah kalimat sederhana yang menampar diriku. Aku benar benar terpukul atas penolakan ini. Penolakan yang benar – benar melengkapi suramnya masa SMP ku. Sebelum ini, aku sudah kenyang merasakan berbagai kegagalan. Dimulai dari mimpiku untuk mengikuti Olimpiade Sains Nasional ( OSN ) benar – benar hilang tak berbekas meninggalkan segores luka di hati kecilku. Saat aku duduk di kelas 7, mimpi itu direnggut oleh kakak kelasku, begitu pula saat menginjak kelas 8, mimpi itu akhirnya hanya tinggal mimpi, aku dikalahkan adik kelasku. Tak hanya soal OSN, di berbagai perlombaan yang aku ikuti, entah kenapa dewi fortuna benar – benar meninggalkanku, aku selalu kalah. Dan, penolakan semakin melengkapi kegagalanku. Aku gagal. Aku dilahirkan sebagai seorang pecundang. Tuhan tidak sayang padaku. Dan berbagai sumpah serapah lainnya, aku lontarkan dengan penuh emosi. Untungnya, aku punya orang tua yang selalu membangkitkan morilku. “Nif, Kamu masih punya mimpi untuk masuk ITB kan ? Ayoo yang sudah berlalu biarlah berlalu, Sekolah engga menjamin kamu sukses koh, tapi niat dan tekadmu lah yang lebih menentukan keberhasilanmu.” Sebuah kalimat yang menusuk nadiku, membangkitkan semangatku. Oke, aku mungkin gagal di SMP, tapi roda terus berputar.
Memasuki masa putih abu – abu, membuka lembaran hidup baru bagiku. Aku ingin, stigma pecundang yang masih membekas agar tak terjadi lagi di SMA. Menorehkan tinta emas di lembaran baru ini sekaligus sebagai jembatan menuju impian besarku, menjadi targetku semasa SMA.
Salah satu agendaku di SMA adalah mengikuti organisasi, apapun itu jenis dan nama organisasinya. Lalu pilihanku akhirnya jatuh kepada 2 organisasi, ROHIS dan COSCODA. Aku milih ROHIS karena aku pikir masa SMA adalah masa sulit. Kenakalan – kenakalan remaja biasanya dating pada masa – masa ini, Mulai dari hanya sekedar merokok dan pacaran hingga narkoba dan perzinaan ; hamil di luar nikah. Untuk itu, agar dunia dan akhiratku seimbang aku memilih ROHIS. Di ROHIS aku mendapat banyak sekali pengalaman, teman, dan tentunya pengetahuan agama yang baru.
Di organisasi yang kedua, COSCODA, tempat berkumpulnya penggila sains di sekolahku, aku mengenal atau lebih tepatnya mengenal kembali OSN. Berbeda dengan SMP, aku mencoba mengambil peruntunganku di bidang komputer, di samping aku sudah muak dengan matematika dan tetek bengek kegagalan dan luka perih masa lalu. Kelas 10, aku hanya sanggup sampai jenjang provinsi. Sempat frustasi kembali, di saat aku sudah yakin untuk bisa menembus OSN, sakit menyerang ku. Dewi fortuna benar benar membenci ku, pikirku.
Akibatnya, di kelas 11 awal, aku rada malas untuk belajar materi OSN. Aku punya luka lama yang aku gamau luka itu kembali datang menjemputku. Tapi, aku beruntung memiliki teman seperjuangan yang selalu membangkitkan morilku. Buku, Situs, Latihan, Sofware C++ yang sudah lama terbengkalai, yang mungkin cemburu kepadaku, karena aku lebih memilih teman main yang lain, mulai aku buka kembali. Malam menjadi siang bagiku. Mengerjakan soal latihan menjadi santapan sehari – hariku. Hingga mata ini lelah melawan perihnya hantaman – hantaman electron dari sinar biru laptop, yang pada akhirnya sepasang lensa minus menggantung di kedua telingaku. Hikmahnya, mungkin tingkat kegantenganku sedikit bertambah karenanya, hehe..
Hasil tak kan mengkhianati usaha. Penantianku selama 5 tahun akhirnya usai. Dengan menitikkan air mata haru, sekeping logam dikalungkan di leherku. Ya.. Alhamdulillah, Tuhan akhirnya memberi amanah medali perunggu ini kepadaku, agar aku bisa bersyukur atas nikmatNya, serta agar semangat mengejar mimpi – mimpiku yang lain.
Hasil itu, mengantarku untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di kampus Ganesha. Saat pertama kali menapakkan kaki di luasnya lahan universitas yang aku impikan itu, mata ini tak kuasa menahan air mata. “Inikah universitas yang aku impikan ?” Kesan megah langsung terasa ketika memasuki area ITB, gedung – gedung peninggalan zaman orde lama yang masih menampakkan kegagahannya, ditemani dengan rimbunnya pepohonan yang asyik bercengkrama akrab dengan mahasiswa – mahasiswi ITB, di seberang jalan, lapangan bola voli dan basket yang tak pernah sepi di isi oleh mahasiswa lainnya yang mencintai olah raga, menambah kesan lengkapnya fasilitas yang ada di Universitas kota kembang ini. Kegiatan ku di ITB diakhiri dengan foto bersama di Plaza Widya, sebuah tempat photobox yang termahsyur bagi mahasiswa baru yang ingin mengabadikan momen pertamanya memakai jaket biru navy kebanggaanya. Ketika itu, aku semakin bersemangat untuk dapat kembali ke sana suatu saat nanti, bukan hanya sebagai tamu melainkan sebagai warga tetap universitas itu.
Sekembalinya ke “dunia nyata”, berbagai tugas telah menumpuk. Mengejar ketertinggalan materi pelajaran yang aku tidak ikuti selama mengikuti serangkaian lomba tersebut. Di tambah dengan persiapan SBMPTN yang harus aku persiapkan dari awal mengingat nilaiku yang kurang stabil di 5 semester membuat jadwalku semakin padat. Pagi hari sekolah. Sore hari meminjam catetan teman dan mempelajarinya. Malam hari belajar untuk SBMPTN. Begitulah kehidupan super sibukku, ditemani sepaket buku yang selalu setia menjadi santapan soal soal ku setiap harinya.
Melihat teman – teman ikut bimbel, kadangkala membuatku sedikit minder. Aku memang engga ikut bimbel, aku engga mau menyusahkan kedua orang tuaku. Aku memiliki 2 adik yang sudah memasuki jenjang sekolah. Tentunya dengan mengikuti bimbel akan semakin menyusahkan kedua orang tuaku. Melihat teman – teman ketika di kelas mempunyai catetan segudang dari bimbelnya, dan aku susah – susah mengumpulkan dan juga mempelajari sendiri materi yang kucari dari literature di internet. Tapi keterbatasan ini, aku yakin ini bukanlah halangan. Dengan telaten, aku rangkum semua materi yang aku dapat dari berbagai sumber. Tak kenal lelah mencari literatur di internet, tak malu bertanya ke teman sekelas, menjadi hal wajib sehari – hariku.
Yang menjadi hal paling sulit ialah, ketika mendapati soal – soal sulit, khususnya soal SBM. Bertanya ke teman – teman yang pintar sebenarnya solusi. Masalahnya, ketika mereka juga tidak tahu. Enaknya kalau ikut bimbel, bisa konsultasi ke guru lesnya, sedangkan aku ? Pernah ada soal yang bikin aku boring berhari – hari. Dikerjain pakai cara apapun gabisa. Bertanya ke teman gaada yang tahu. Giliran tanya keguru di kelas, dibilang “Sombong nif lah, ngerjainnya soal yang sulit – sulit” dan stempel – stempel yang sejenis lainnya. Tapi biarlah, inilah langkahku, aku mau berhasil tanpa harus menyusahkan kedua orang tuaku, aku mau berhasil dengan usahaku sendiri, yang tentunya atas bantuan Tuhan yang maha kuasa.
Seperti layaknya siswa biasa saat menginjak kelas 12, pemilihan jurusan membuatku galau berat. Informatika, itulah bakatku. Itulah passionku. Tapi untuk bisa masuk ke ITB, universitas impianku, dengan STEI nya bukanlah hal yang mudah. Terutama saat SNMPTN. Nilaiku yang kurang konsisten menjadi faktor yang membuatku agak minder mendaftar diri di kampus Ganesha. Namun setelah mendengat masukan dari berbagai pihak, teman, orang tua, dan guru di sekolah, Insha Alloh STEI menjadi pilihan utama di SNMPTN nanti. Tentunya tetap dengan usaha keras untuk mempersiapkan diri dengan kemungkinan terburuk mengikuti SBMPTN.
Jika nanti aku diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan di universitas impianku itu, segudang agenda sudah menanti. Berfoto kembali di Plaza Widya. Melihat kembali keindahan kolam dan pulau pulau tenggelam yang berada di antara gedung kembar, yang apabila kita lihat akan terlihat bentuk yang serupa tapi tak sama, nyaris mirip dengan kembar identik. Tak lupa juga aku akan memanjatkan syukur yang mendalam di Masjid Salman ITB. Masjid yang dikenal dengan keindahan bangunannya serta indahnya tilawah qari di masjid tersebut. Bersyukur atas nikmat yang sudah Tuhan berikan kepadaku sehingga aku diberi kesempatan meraih sebuah impian kecilku, untuk mengenakan jaket biru navy sebagai jaket kebangganku.
Mahasiswa, tempat menimba berbagai pengalaman hidup, sebelum benar – benar turun ke masyarakat yang sebenarnya. Mengikuti Mstei dan Boulevard ITB menjadi salah satu agenda ku nanti. Menulis, sebuah kegemaranku masa kecil yang hilang dibalik berbagai kegiatan sekolah Selanjutnya, aku akan mencoba merintis sebuah startup aplikasi layaknya traveloka, bukalapak, dan tokopedia. Terinspirasi oleh kesuksesan pendiri Google yang bersama teman kuliahnya mendirikan sebuah “perusahaan” kecil – kecilan yang kini berkembang menjadi salah satu perusahaan IT paling bonefit di dunia.
Selepas menjadi sarjana, “Sejauh apapun kamu pergi, jangan lupakan kampung halamanmu” Berkarya untuk negeri, memberi sumbangsih untuk kemajuan negeri, serta ikut mengembangkan kampung halaman menjadi cita – cita ku kelak. Pendidikan menjadi salah stau yang menarik perhatianku guna membuka kesempatanku untuk terus berkarya untuk negeri. Mengingat penggunaan internet yang kini sudah menjamah hampir seluruh wilayah Indonesia, membuat pergeseran budaya pendidikan terjadi. Dulu siswa hanya mengandalkan pola pembelajaran yang konservatif, dimana siswa hanya bisa mempelajari pelaaran di sekolah dengan bantuan bapak ibu guru, selepas itu di rumah tidak ada yang megontrol, membimbing nya untuk terus belajar. Kini, siswa lebih sering menghabiskan waktunya di depan layar berukuran setelapak tangan mencari materi pelajaran yang dibutuhkan. Namun, sayang jumlah startup pendidikan di Indonesia masihlah sedikit. Hanya beberapa situs saja yang menyediakan layanan video, materi, soal pembelajaran online, itupun banyak yang berbayar. Oleh karena itu, startup pendidikan gratis menjadi langkah nyata untuk membangun bangsa ini, terutama membangun sumber daya manusianya, generasi muda Indonesia yang suatu saat menjadi pemimpin – pemimpin negeri ini. Amiinn….
Sekian.
Salam Ganesha !
*Coretan kecil ini diikutsertakan dalam sayembara Surat Cinta untuk Indonesia AMI ITB
Kugantung ganeshaku di awan
Tak lelah selalu kutatap
Tak berhenti berharap
Mengayunkan langkah
Menggapai cita
Menjemput sang ganesha
Dunia berkembang sangat pesat, teknologi – teknologi baru terus saja bermunculan menambah kesan kedigdayaan peradaban manusia. Hal yang membuat hiruk pikuk suasana ibukota tepat saat matahari mulai bersembunyi menyembunyikan sinarnya masih terasa. Orang – orang berlalu lalang, ada yang kembali ke rumah masing – masing, sibuk dengan perjanjian – perjanjian bisnisnya, hingga ada yang sekedar jalan – jalan menghabiskan sedikit sisa bensinnya. Apapun itu, semua sibuk dengan kesibukan dan agendanya masing – masing. 500 kilometer nan jauh dari kehidupan ibukota yang menampakkan kegagahannya itu, seorang remaja tanggung berdiam diri sendiri di sebuah lorong gelap di salah satu sudut sekolahnya. Matanya terus fokus menatap sebuah layar berukuran hampir sebesar buku pelajaran sekolah. Jari jarinya terus bergoyang dan menari menuliskan huruf, merangkai menjadi sebuah kata, mengerjakan tugas yang tak kunjung rampung, tiada akhirnya. Di sebelahnya, sebuah tas ransel berwarna hitam berisi tumpukan tumpukan buku, yang beberapa diantaranya berisi tumpukan tugas yang menunggu antrian untuk dikerjakan sebelum tenggat waktu yang ditentukan, atau omelan bapak ibu guru siap siap menyengat telinganya keesokan harinya.
Remaja tanggung itulah aku, aku yang sibuk dengan segala impian yang telah kugantung di kepalaku. Impian yang tak akan tercapai tanpa perjuangan keras tentulah. Perkenalkan, namaku Muhammad Hanif Adzkiya. Nama yang sederhana, namun untuk urusan nama panggilan, tak sesederhana itu. Teman – temanku biasa memanggilku Adzky, tetapi aku lebih suka dipanggil Hanif. Bahkan, aku pernah sedikit marah, pasalnya teman temanku sering mengetik “ASS” – Kalian tau sendiri kan artinya - ketika mengobrol di dunia maya. Yah.. Apapun pangilannya sebenarnya aku beruntung, nama pemberian orang tuaku itu benar benar mempunyai makna yang besar. Hanif, Lurus. Adzkiya, Cerdas. Mungkin orang tuaku ingin, aku tak hanya cerdas dalam hal duniawi, namun juga cerdas untuk urusan agama. Aku dilahirkan dan dibesarkan di sebuah kota kecil. Sebuah kota di pesisir selatan Jawa Tengah. Kota yang terkenal dengan keindahan alamnya, kota ini dikelilingi pegunungan tinggi. Purwokerto, namanya. Aku dibesarkan di lingkungan keluarga yang sederhana. Keluarga yang menganggap waktu berkumpul bersama di malam hari sambil menonton TV ditemani camilan menjadi sebuah hiburan yang mengasyikkan. Di keluargaku tak ada hiburan paling nikmat selain membaca buku di rumah atau pergi ke perpustakaan daerah untuk menikmati lezatnya hidangan bernama buku.
Tiga tahun lalu, remaja tanggung yang waktu itu masih berseragam biru tua, menuliskan sebuah mimpinya, mimpi yang akan menemani perjalanan hidupnya sepanjang berseragam putih abu – abu nanti. Mimpi untuk diterima di sebuah Perguruan Tinggi Negeri terbaik di kota Bandung, Institut Teknologi Bandung.
Alhamdulillah, Kedua orang tuaku benar benar mendukung impianku tersebut. Masih teringat bagaimana wajah lelahnya terlihat dari keringat yang bercampur dengan tetesan air hujan, menungguku di balik gerbang sekolah. Menungguku menyelesaikan bimbel sore, salah satu ikhtiar yang harus aku lalui dengan semangat agar dapat di terima di SMA terbaik nantinya.
Sebelum orang tuaku mengirimku untuk menimba ilmu di SMA Negeri 2 Purwokerto, sekolah - yang kata orang - terbaik yang ada di kota kecilku itu, aku mencoba mendaftar ke sebuah Sekolah favorit di Indonesia, MAN Insan Cendikia. Aku ikuti serangkaian proses seleksi. Mulai seleksi administrasi hingga seleksi tes tertulis. Namun, Tuhan masih belum mengizinkanku bersekolah di sekolah tersebut. Masih terbayang bagaimana kesedihanku waktu itu ketika membuka pengumuman kelulusan. “Maaf Anda belum berhasil, Semoga Kesuksesan menanti Anda di lain waktu” Sebuah kalimat sederhana yang menampar diriku. Aku benar benar terpukul atas penolakan ini. Penolakan yang benar – benar melengkapi suramnya masa SMP ku. Sebelum ini, aku sudah kenyang merasakan berbagai kegagalan. Dimulai dari mimpiku untuk mengikuti Olimpiade Sains Nasional ( OSN ) benar – benar hilang tak berbekas meninggalkan segores luka di hati kecilku. Saat aku duduk di kelas 7, mimpi itu direnggut oleh kakak kelasku, begitu pula saat menginjak kelas 8, mimpi itu akhirnya hanya tinggal mimpi, aku dikalahkan adik kelasku. Tak hanya soal OSN, di berbagai perlombaan yang aku ikuti, entah kenapa dewi fortuna benar – benar meninggalkanku, aku selalu kalah. Dan, penolakan semakin melengkapi kegagalanku. Aku gagal. Aku dilahirkan sebagai seorang pecundang. Tuhan tidak sayang padaku. Dan berbagai sumpah serapah lainnya, aku lontarkan dengan penuh emosi. Untungnya, aku punya orang tua yang selalu membangkitkan morilku. “Nif, Kamu masih punya mimpi untuk masuk ITB kan ? Ayoo yang sudah berlalu biarlah berlalu, Sekolah engga menjamin kamu sukses koh, tapi niat dan tekadmu lah yang lebih menentukan keberhasilanmu.” Sebuah kalimat yang menusuk nadiku, membangkitkan semangatku. Oke, aku mungkin gagal di SMP, tapi roda terus berputar.
Memasuki masa putih abu – abu, membuka lembaran hidup baru bagiku. Aku ingin, stigma pecundang yang masih membekas agar tak terjadi lagi di SMA. Menorehkan tinta emas di lembaran baru ini sekaligus sebagai jembatan menuju impian besarku, menjadi targetku semasa SMA.
Salah satu agendaku di SMA adalah mengikuti organisasi, apapun itu jenis dan nama organisasinya. Lalu pilihanku akhirnya jatuh kepada 2 organisasi, ROHIS dan COSCODA. Aku milih ROHIS karena aku pikir masa SMA adalah masa sulit. Kenakalan – kenakalan remaja biasanya dating pada masa – masa ini, Mulai dari hanya sekedar merokok dan pacaran hingga narkoba dan perzinaan ; hamil di luar nikah. Untuk itu, agar dunia dan akhiratku seimbang aku memilih ROHIS. Di ROHIS aku mendapat banyak sekali pengalaman, teman, dan tentunya pengetahuan agama yang baru.
Di organisasi yang kedua, COSCODA, tempat berkumpulnya penggila sains di sekolahku, aku mengenal atau lebih tepatnya mengenal kembali OSN. Berbeda dengan SMP, aku mencoba mengambil peruntunganku di bidang komputer, di samping aku sudah muak dengan matematika dan tetek bengek kegagalan dan luka perih masa lalu. Kelas 10, aku hanya sanggup sampai jenjang provinsi. Sempat frustasi kembali, di saat aku sudah yakin untuk bisa menembus OSN, sakit menyerang ku. Dewi fortuna benar benar membenci ku, pikirku.
Akibatnya, di kelas 11 awal, aku rada malas untuk belajar materi OSN. Aku punya luka lama yang aku gamau luka itu kembali datang menjemputku. Tapi, aku beruntung memiliki teman seperjuangan yang selalu membangkitkan morilku. Buku, Situs, Latihan, Sofware C++ yang sudah lama terbengkalai, yang mungkin cemburu kepadaku, karena aku lebih memilih teman main yang lain, mulai aku buka kembali. Malam menjadi siang bagiku. Mengerjakan soal latihan menjadi santapan sehari – hariku. Hingga mata ini lelah melawan perihnya hantaman – hantaman electron dari sinar biru laptop, yang pada akhirnya sepasang lensa minus menggantung di kedua telingaku. Hikmahnya, mungkin tingkat kegantenganku sedikit bertambah karenanya, hehe..
Hasil tak kan mengkhianati usaha. Penantianku selama 5 tahun akhirnya usai. Dengan menitikkan air mata haru, sekeping logam dikalungkan di leherku. Ya.. Alhamdulillah, Tuhan akhirnya memberi amanah medali perunggu ini kepadaku, agar aku bisa bersyukur atas nikmatNya, serta agar semangat mengejar mimpi – mimpiku yang lain.
Hasil itu, mengantarku untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di kampus Ganesha. Saat pertama kali menapakkan kaki di luasnya lahan universitas yang aku impikan itu, mata ini tak kuasa menahan air mata. “Inikah universitas yang aku impikan ?” Kesan megah langsung terasa ketika memasuki area ITB, gedung – gedung peninggalan zaman orde lama yang masih menampakkan kegagahannya, ditemani dengan rimbunnya pepohonan yang asyik bercengkrama akrab dengan mahasiswa – mahasiswi ITB, di seberang jalan, lapangan bola voli dan basket yang tak pernah sepi di isi oleh mahasiswa lainnya yang mencintai olah raga, menambah kesan lengkapnya fasilitas yang ada di Universitas kota kembang ini. Kegiatan ku di ITB diakhiri dengan foto bersama di Plaza Widya, sebuah tempat photobox yang termahsyur bagi mahasiswa baru yang ingin mengabadikan momen pertamanya memakai jaket biru navy kebanggaanya. Ketika itu, aku semakin bersemangat untuk dapat kembali ke sana suatu saat nanti, bukan hanya sebagai tamu melainkan sebagai warga tetap universitas itu.
Sekembalinya ke “dunia nyata”, berbagai tugas telah menumpuk. Mengejar ketertinggalan materi pelajaran yang aku tidak ikuti selama mengikuti serangkaian lomba tersebut. Di tambah dengan persiapan SBMPTN yang harus aku persiapkan dari awal mengingat nilaiku yang kurang stabil di 5 semester membuat jadwalku semakin padat. Pagi hari sekolah. Sore hari meminjam catetan teman dan mempelajarinya. Malam hari belajar untuk SBMPTN. Begitulah kehidupan super sibukku, ditemani sepaket buku yang selalu setia menjadi santapan soal soal ku setiap harinya.
Melihat teman – teman ikut bimbel, kadangkala membuatku sedikit minder. Aku memang engga ikut bimbel, aku engga mau menyusahkan kedua orang tuaku. Aku memiliki 2 adik yang sudah memasuki jenjang sekolah. Tentunya dengan mengikuti bimbel akan semakin menyusahkan kedua orang tuaku. Melihat teman – teman ketika di kelas mempunyai catetan segudang dari bimbelnya, dan aku susah – susah mengumpulkan dan juga mempelajari sendiri materi yang kucari dari literature di internet. Tapi keterbatasan ini, aku yakin ini bukanlah halangan. Dengan telaten, aku rangkum semua materi yang aku dapat dari berbagai sumber. Tak kenal lelah mencari literatur di internet, tak malu bertanya ke teman sekelas, menjadi hal wajib sehari – hariku.
Yang menjadi hal paling sulit ialah, ketika mendapati soal – soal sulit, khususnya soal SBM. Bertanya ke teman – teman yang pintar sebenarnya solusi. Masalahnya, ketika mereka juga tidak tahu. Enaknya kalau ikut bimbel, bisa konsultasi ke guru lesnya, sedangkan aku ? Pernah ada soal yang bikin aku boring berhari – hari. Dikerjain pakai cara apapun gabisa. Bertanya ke teman gaada yang tahu. Giliran tanya keguru di kelas, dibilang “Sombong nif lah, ngerjainnya soal yang sulit – sulit” dan stempel – stempel yang sejenis lainnya. Tapi biarlah, inilah langkahku, aku mau berhasil tanpa harus menyusahkan kedua orang tuaku, aku mau berhasil dengan usahaku sendiri, yang tentunya atas bantuan Tuhan yang maha kuasa.
Seperti layaknya siswa biasa saat menginjak kelas 12, pemilihan jurusan membuatku galau berat. Informatika, itulah bakatku. Itulah passionku. Tapi untuk bisa masuk ke ITB, universitas impianku, dengan STEI nya bukanlah hal yang mudah. Terutama saat SNMPTN. Nilaiku yang kurang konsisten menjadi faktor yang membuatku agak minder mendaftar diri di kampus Ganesha. Namun setelah mendengat masukan dari berbagai pihak, teman, orang tua, dan guru di sekolah, Insha Alloh STEI menjadi pilihan utama di SNMPTN nanti. Tentunya tetap dengan usaha keras untuk mempersiapkan diri dengan kemungkinan terburuk mengikuti SBMPTN.
Jika nanti aku diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan di universitas impianku itu, segudang agenda sudah menanti. Berfoto kembali di Plaza Widya. Melihat kembali keindahan kolam dan pulau pulau tenggelam yang berada di antara gedung kembar, yang apabila kita lihat akan terlihat bentuk yang serupa tapi tak sama, nyaris mirip dengan kembar identik. Tak lupa juga aku akan memanjatkan syukur yang mendalam di Masjid Salman ITB. Masjid yang dikenal dengan keindahan bangunannya serta indahnya tilawah qari di masjid tersebut. Bersyukur atas nikmat yang sudah Tuhan berikan kepadaku sehingga aku diberi kesempatan meraih sebuah impian kecilku, untuk mengenakan jaket biru navy sebagai jaket kebangganku.
Mahasiswa, tempat menimba berbagai pengalaman hidup, sebelum benar – benar turun ke masyarakat yang sebenarnya. Mengikuti Mstei dan Boulevard ITB menjadi salah satu agenda ku nanti. Menulis, sebuah kegemaranku masa kecil yang hilang dibalik berbagai kegiatan sekolah Selanjutnya, aku akan mencoba merintis sebuah startup aplikasi layaknya traveloka, bukalapak, dan tokopedia. Terinspirasi oleh kesuksesan pendiri Google yang bersama teman kuliahnya mendirikan sebuah “perusahaan” kecil – kecilan yang kini berkembang menjadi salah satu perusahaan IT paling bonefit di dunia.
Selepas menjadi sarjana, “Sejauh apapun kamu pergi, jangan lupakan kampung halamanmu” Berkarya untuk negeri, memberi sumbangsih untuk kemajuan negeri, serta ikut mengembangkan kampung halaman menjadi cita – cita ku kelak. Pendidikan menjadi salah stau yang menarik perhatianku guna membuka kesempatanku untuk terus berkarya untuk negeri. Mengingat penggunaan internet yang kini sudah menjamah hampir seluruh wilayah Indonesia, membuat pergeseran budaya pendidikan terjadi. Dulu siswa hanya mengandalkan pola pembelajaran yang konservatif, dimana siswa hanya bisa mempelajari pelaaran di sekolah dengan bantuan bapak ibu guru, selepas itu di rumah tidak ada yang megontrol, membimbing nya untuk terus belajar. Kini, siswa lebih sering menghabiskan waktunya di depan layar berukuran setelapak tangan mencari materi pelajaran yang dibutuhkan. Namun, sayang jumlah startup pendidikan di Indonesia masihlah sedikit. Hanya beberapa situs saja yang menyediakan layanan video, materi, soal pembelajaran online, itupun banyak yang berbayar. Oleh karena itu, startup pendidikan gratis menjadi langkah nyata untuk membangun bangsa ini, terutama membangun sumber daya manusianya, generasi muda Indonesia yang suatu saat menjadi pemimpin – pemimpin negeri ini. Amiinn….
Sekian.
Salam Ganesha !
*Coretan kecil ini diikutsertakan dalam sayembara Surat Cinta untuk Indonesia AMI ITB
0 komentar:
Posting Komentar